Saya baru saja selesai membaca buku tentang Stoik yang sangat menarik. Buku ini memberikan pandangan yang baru dalam menghadapi hidup dan mulai membuat saya memikirkan tentang kehidupan yang sedang dijalani.

Stoik adalah aliran filsafat yang pertama kali dikembangkan oleh para filsuf Yunani kuno. Sebelum membaca buku ini, saya memiliki persepsi bahwa filsafat erat kaitannya dengan ateisme. Namun, setelah membaca bukunya, saya menyadari bahwa pandangan ini benar-benar berlawanan: saya menjadi lebih tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang keilahian.

Filsafat sebenernya malah mengajarkan kita untuk memikirkan lebih dalam lagi tentang segala hal. Khususnya yang baik dan yang bermamfaat:

Inilah yang seharusnya dilakukan oleh penggumul filsafat yang baik — dan orang berakal sehat pada umumnya: mendengarkan pandangan satu sama lain, belajar dan merenungkan, lalu membahasnya lagi sambil menikmati minuman.

Stoik mengajarkan saya untuk menerapkan kebajikan untuk meraih ketentraman hati. Untuk menerapkan ketentraman hati, kita harus memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang kita kendalikan saja, lalu membiarkan semesta berjalan sesuai kemauannya. Bagi mereka hal ini akan mengemat energi sekaligus meminimalkan kecemasan.

Di sini, kata “semesta” mengacu pada sesuatu yang berada di luar kendali kita. Sebagai contoh, jika Anda seorang atlet sepak bola, fokus atau tujuan Anda bukanlah memenangkan pertandingan, tetapi bermain sebaik mungkin. Anda perlu berlatih dengan tekun untuk meningkatkan keterampilan umpan, kecepatan berlari, energi, dan lainnya. Kemenangan atau kekalahan berada di luar kendali Anda, atau dapat dikatakan sebagai kehendak Tuhan.

Karena sepak bola adalah tentang tim, bukan individu, mungkin ada rekan tim yang kurang serius atau Anda mungkin merasa tidak enak badan saat bertanding, dan sebagainya. Menyesali hal tersebut hanya akan membuang energi emosional. Kita tidak dapat mengubah masa lalu, karena itu berada di luar kendali kita. Yang dapat kita lakukan adalah belajar dari kegagalan kita, namun satu-satunya situasi yang dapat kita kendalikan adalah saat ini dan di tempat ini.

Jadi, sikap yang tepat adalah mencari ketenangan dan memberikan yang terbaik. Entah Anda berhasil atau tidak, sikap yang terbaik adalah menerima hasilnya tanpa rasa bersalah.

Kebajikan merujuk pada kualitas atau sifat moral yang baik dalam diri seseorang. Berusaha maju dan menghindari kesedihan untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup adalah penting, tetapi tidak boleh mengorbankan integritas Anda. Lebih baik menahan kesedihan dengan cara yang terhormat daripada mencari kegembiraan dengan cara yang memalukan.

Untuk menjadi orang yang bijak, atau enam kebajikan utama bagi filsuf Athena adalah:

  1. Keteguhan hati: Kekuatan-kekuatan emosional yang meliputi pelaksanaan keinginan meraih sasaran-sasaran meskipu mengalami tantangan, baik dari luar maupun dalam. Ini meliputi keberanian, ketekunan, dan kejujuran (honesty).
  2. Keadilan: Kekuatan-kekuatan seorang anggota yang mendasari kehidupan bermasyarakat yang sehat. Ini meliputi kesetaraan, kepemimpinan, dan kewarganegaraan atau kerja sama tim.
  3. Kemanusiaan: Kekuatan-kekuatan dalam hubungan antarpribadi yang meliputi kepedulian dan kesetiaan kepada teman dan orang lain. Ini meliputi cinta kasih dan keramahan.
  4. Disiplin: Kekuatan-kekuatan yang memberikan perlindungan terhadap keterlebihan. Ini meliputi pengendalian diri, kesediaan memaafkan, kehidupan sederhana, rendah hati, dan kehati-hatian.
  5. Kebijaksanaan: Kekuatan-kekuatan intelektual yang memungkinkan kita untuk menerima dan menerapkan pengetahuan. Ini meliputi kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan penilaian, dan perspektif yang membantu kita memberikan nasihat kepada orang lain.
  6. Transdensi: Kekuatan-kekuatan yang memupuk hubungan dengan dunia yang lebih besar dan kerenanya memberikan makna. Ini meliputi rasa syukur, harapan dan spiritualitas.

Terkait dengan kejahatan, filsuf juga mengajarkan kita tentang bersikap belas kasih.

Misalkan seorang bergunjing tentang kami, berterimakasihlah kepadanya karena tidak memukul. “Tapi ia memukul juga”. Berterima kasihlah kepadanya karena tidak membuatmu luka. “Tapi ia membuat saya luka”. Berterimakasihlah kepadanya karena tidak membunuh. Karena kapan, atau di sekolah mana, ia pernah belajar “bahwa manusia adalah mahluk yang lembut dan senang berteman, jadi perbuatan salah itu dengan sendirinya berakibat buruk kepada sipelaku?” Kalau ternyata dia belum belajar tentang ini atau belum diyakinkan tentang ini, mengapa ia tidak boleh mengikuti apa yang tampaknya sesuai dengan minatnya”.

Bagi filsuf kejahatan adalah kebodohan bebal, yaitu melakukan penolakan memahami. Penyembuhannya tidak terjadi melalui argumentasi rasional seperti akumulasi data, pengetahuan yang lebih besar atau melalui pengalaman yang baru dan berbeda, tetapi sebaliknya, kebodohan ini adalah penyakit spiritual, dan karena itu memerlukan penyembuhan spiritual.

Kita dianjurkan untuk merespon dengan belas kasih, bukan benci atau marah karena mereka tidak memiliki sesuatu hal yang penting, sama seperti orang yang lumpuh. Kejahatan seringkali merupakan akibat kurangnya pemikiran, yang berarti orang biasanya tidak ingin berbuah jahat, dan jelas tidak memendang diri sebagai pelaku kejahatan — sering kali yakin mereka melakukan perbuatan yang baik. Ini juga mengingatkan kita bahwa mengembangkan kebijaksanaan itu sangatlah penting.

Kita perlu merenungkan kondisi kita dan dengan sungguh-sungguh, berusaha memandang segala sesuatu dengan cahaya yang berbeda, cahaya yang lebih rasional dan lebih berbela-rasa.

Filsuf juga mengarkan kita untuk tidak takut terhadap kematian.

Apakah kamu akan menyadari dengan pasti bahwa bukan kematian yang menjadi sumber semua kejahatan manusia, dan menjadikan seorang jahat serta pengecut, melainkan ketakutan terhadap kematian? Untuk melawan ketakutan ini, aku meminta kamu mendisiplinkan diri; untuk ini biarkan semua pikiranmu, pelajaran-pelajaranmu, dan pelatihan-pelatihanmu diarahkan; maka kamu akan tahu bahwa hanya dengan begitulah orang meraih kemerdekaan mereka.

Epictetus juga mengamas ini dengan sebuah analogi yang menarik:

Mengapa setangkai gandum tumbuh? Bukankah karena ia akan menjadi masak dibawah sinar matahari? Dan bila bulirnya masak, tidakkah itu karena ia boleh dipanen, karena ini bukanlah sesuatu yang terpisah? Jadi seandainya gandum memiliki perasaan, haruskah ia berdoa agar tidak sampai dipanen ketika waktunya tiba? Namun, ini kutukan atas gandum — berdoa semoga tidak pernah dipanen. Sama halnya kamu mengutuk orang ketika mendoakan mereka agar tidak mati: itu seperti doa agar gandum tidak menjadi masak, agar tidak harus dipanen. Tapi kita manusia, sebagai mahluk yang nasibnya adalah harus dipanen, juga sadar tentang fakta yang satu ini, bahwa kita ditakdirkan menjadi masak, dan kita marah; karena kita tidak tahu siapa kita, juga tidak belajar tentang hal-hal terkait manusia, sebagaimana orang yang ahli kuda belajar tentang hal-ikhwal kuda.

Ada tiga gagasan yang disampaikan disini:

  1. Kita tidak berbeda dengan mahluk lain, seperti gandum yang bulirnya ditakdirkan masak dibawah cahaya matahari, kita pun ditakdirkan menjadi “masak”.
  2. Tidak seperti gandum, kita mempu merenungkan pikiran itu. Kematian itu sendiri tidak ada dibawah kendali kita, tapi bagaimana kita berpikir tentang kematian hampir pasti ada dibawah kendali kita. Itulah bagian yang perlu kita latih.
  3. Jika kita takut pada kematian, itu berarti kita tidak mengetahui banyak tentang kondisi manusia, sama seperti pelatih kuda yang paham tentang kuda. Jika kita memahami kondisi manusia dengan baik, kita tidak akan bereaksi dengan cara yang sama terhadap kemungkinan kematian kita sendiri.

Kematian bukan apa-apa bagi kita, melihat bahwa, ketika kita ada, kematian tidak ada, dan, ketika kematian datang, kita tidak ada.

Kita akan kembali menjadi debu dan memungkinkan mahluk-mahluk hidup baru menggantikan tempat kita dalam memproses jagat raya. Bagaimana pun, ini seharusnya membuat kita menjadi lebih menghargai rentang waktu yang luar biasa kecil yang tersedia bagi kita untuk hidup, makan, minum dan bercinta. Bersedih karena membayangkan rentang waktu ini akan berakhir tidak saja tidak rasional, tapi juga sama sekali tidak bermamfaat. Pulang dan bubarlah dengan semangat syukur dan kesahajaan, sediakan ruang bagi yang lain.

Terkait dengan kemarahan dan emosi, kita harus tahan dan kendalikan diri. Katakan “tahan dan kendalikan diri” sambil menarik napas untuk mengendalikan amarah. Logika mengalahkan amarah, karena amarah, bahkan meskipun dibenerkan, dapat dengan cepat menjadi tidak rasional. Jadi, gunakan logika yang keras dan dingin pada diri sendiri.

Cerita yang menarik dari Epictetus dalam analoginya mengendalikan amarah:

Kemarin ada lentera besi di samping altar dewa-dewa pelindung rumah tangga, dan karena mendengar bunyi berisik, aku bergegas ke jendela. Aku mendapati lentera itu telah dibawa pergi. Aku berkata dalam hati bahwa orang mengambilnya memiliki alasan yang masuk akal. Apa yang aku simpulkan? Besok, kataku, kita akan mencari gantinya di toko perabotan keramik. Aku kehilangan lentera, karana dalam hal kesiagaan pencuri itu lebih hebat daripada aku. Tapi ia mendapatkan lentera itu dengan harga yang setimpal: karena sebuah lentera ia menjadi pencuri, karena sebuah lentera ia melanggar integritasnya, karena sebuah lentera ia menjadi penjahat.

Ketika hal seperti itu terjadi, kita harus aktif dalam penyelesaian masalah dan bukannya mengeluh.

Kita perlu menyadari bahwa tidak semua masalah memiliki solusi yang pasti. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa kita tidak dapat menyelesaikan segala hal, asalkan kita telah berusaha semaksimal mungkin dalam menghadapi situasi tersebut.

Cara yang penting untuk menangani amarah adalah komunikasi yang lebih baik, khususnya komunikasi yang lebih baik dengan orang yang membuat kita marah.

Terkait dengan kehidupan sosial, filsuf juga menganjurkan kita hidup secara sosial. Karena pada dasarnya kita adalah mahluk sosial yang mendapatkan kepuasan dari berbincang-bincang dengan mahluk sosial lain.

Filsuf juga percaya bahwa persahabatan sejati, seperti cinta sejati, terungkap ketika situasi buruk, bukan ketika hubungan sedang baik dan mudah.

Pada buku ini juga penulis memberikan dua belas latihan untuk mengimplementasi Stoik di kehidupan kita:

  1. Memeriksa kesan yang dirasakan. Berlatihkan mengungkapkan setiap kesan yang terasa kuat. Tanyakan kepada diri sendiri, apakah ini sesuatu yang ada dalam kendali atau tidak. Kalau ini bukan salah sata yang ada dalam kendalimu, bersiaplah pada reaksi. “Kesan” yaitu adalah reaksi kita terhadap kejadian, orang dan apa yang orang katakan pada kita. Melangkah mundur untuk memberi ruang bagi tanggapan rasional, hindari aksi yang terburu-buru.
  2. Mengingatkan diri bahwa sesuatu tidak permanen. Dalam hal ada sesuatu yang membuat kamu senang, membuat kamu beruntung, atau membuat kamu makin terikat. Ingatkan diri tentang semua itu. Ketika memberi istrimu atau anakmu kecupan, katakan dalam hati: “Aku mencium seorang yang tidak abadi”. Maka kamu tidak akan berduka bila mereka diambil daarimu. Kita harus mengingatkan diri tentang betapa betapa berharga orang-orang yang kita sayangi tepatnya karena mereka akan segera meninggalkan kita.
  3. Pertimbangan kemungkinan buruk. Setiap kali merencakan sesuatu, gambarkan dalam hati akibat rencana itu. Pikirkan hal yang buruk, maka ketika hal itu terjadi, kamu lebih siap menghadapinya. Epictetus mengajarkan bahwa kita harus menerima bahwa meskipun kita bisa merencanakan, hasilnya mungkin tidak sesuai harapan. Ketika hal ini terjadi, kita memiliki dua pilihan: membuat situasi menjadi lebih sulit dengan merespons negatif atau mengingat tujuan yang lebih besar, seperti menjadi orang yang sopan dan mempertahankan integritas kita. Sebagai contoh, dalam bermain tenis, menjadi pemenang bukanlah tujuan yang dapat kita kendalikan, tetapi bermain dengan sebaik mungkin adalah tujuan yang tepat.
  4. Bagaimana saya dapat menggunakan kebajikan disini dan saat ini. Gunakan setiap kejadian, setiap tantangan sebagai cara untuk melatih kebajikan kita, untuk menjadi manusia yang lebih baik dengan menerapkannya secara terus menerus. Setiap tantangan dalam hidup adalah kesempatan yang bagus untuk berlatih menyempurnakan diri. Tahan dan kendalikan diri. Ingat, sasaran kita bukan untuk membahagiakan diri, tapi ketentraman hati, tetap tenang untuk apa-pun yang hidup sodorkan kepada kita.
  5. Berhenti sejenak dan tarik napas dalam. Jangan bereaksi secara impulsif (reaksi spontan) terhadap situasi tersebut. Berikan dirimu waktu sejenak sebelum bereaksi, dan kamu akan menemukan bahwa menjaga kendali diri menjadi lebih mudah. Ambil waktu untuk menghela napas, mungkin berjalan sebentar, dan kemudian tinjau masalah dengan tenang. Jangan mengambil keputusan gegabah. Jika sesuatu penting, berhentilah sejenak dan pikirkan sebelum memutuskan apakah harus dilakukan atau tidak.
  6. Membayangkan berada diposisi orang lain. Kita dapat membiasakan diri dengan kehendak alam lewat merenungkan pengalaman-pengalaman kita yang sama dengan orang lain. Latihlah menempatkan diri dalam posisi orang lain.
  7. Bicara sedikit tapi bagus. Biasakan tidak banyak bicara tentang tujuanmu. Katakanlah seperlunya saja, dan secara ringkas. Jangan bergosip tentang orang lain, memuji dan menyalahkan, atau membanding-bandingkan mereka. Sedikit sekali ada orang yang mau diceramahi dalam situasi apa pun. Terima pandangan orang lain dalam situasi apa pun. Tentukan rencana terbaik kita dan atur perilaku kita sesuai dengan itu.
  8. Memilih teman Anda dengan baik. Hindari berteman dengan orang yang bukan filsuf. “Filsuf” disini adalah orang-orang yang tertarik menerapkan kebajikan dan terus memperbaiki karakter. Gunakan akal budi untuk memperbaiki kehidupan dan kebahagiaan pribadi, serta kehidupan dan kebahagiaan komunitas.
  9. Tanggapi penghinaan dengan humor. Jika ada yang berbicara buruk tentangmu, jangan membela diri, tapi sambutlah dengan humor. Daripada tersinggung, cemoohlah dirimu sendiri. Ini akan membuatmu merasa lebih baik dan membuat orang yang mencemoohmu malu. Semakin sering kamu melatih diri untuk menghadapi penghinaan, semakin kuat secara psikologis, dan semakin mampu bereaksi dengan tepat dan efektif. Namun, ada peringatan. Kadang-kadang, penghinaan itu bisa jadi kritik, bahkan kritik yang membangun. Dengan mengabaikannya, kamu mungkin melewatkan kesempatan untuk memperbaiki diri, bahkan terlihat arogan.
  10. Jangan bicara terlalu banyak tentang diri sendiri. Hanya karena kamu senang menceritakan pengalamanmu tidak berarti orang lain menikmati kesenangan yang sama dari mendengarkan ceritamu.
  11. Bicara tanpa menghakimi. Berhenti sejenak dan bayangkan betapa baiknya dunia ini jika kita semua bisa menahan diri dari membuat penilaian terburu-buru dan hanya melihat orang lain berdasarkan fakta, serta memberikan lebih banyak empati (belas kasih) kepada sesama manusia.
  12. Renungkan pengalamanmu hari ini. Mulailah mempertimbangkan tindakanmu, dan jika ada kesalahan, sesalilah, tetapi untuk kebijakanmu, bergembiralah.